Dakwah dan Kemajuan Teknologi


Dakwah dan Kemajuan Teknologi *)
Taufik

Perbedaan utama antara negara maju dan negara berkembang adalah kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di negara-negara maju karena didukung oleh sistem informasi yang mapan. Sebaliknya, sistem informasi yang lemah di negara-negara berkembang mengakibatkan keterbelakangan dalam penguasaan.ilmu pengetahuan.dani teknologi. Jadi, jelaslah bahwa maju atau tidaknya suatu negara sangat di tentukan oleh penguasaan teirhadap informasi, karena informasi merupakan modal utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan.teknologi yang menjadi senjata pokok untuk membangun negara. Sehingga apabila satu negara ingin maju dan tetap eksis dalam persaingan global, maka negara tersebut harus menguasai informasi.
Di era globalisasi dan informasi ini penguasaan terhadap informasi tidak cukup harnya sekedar menguasai, diperlukan kecepatan dan ketepatan. Sebab hampir tidak ada guna menguasai informasi yang telah usang, padahal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat mengakibatkan usia informasi menjadi sangat pendek, dengan kata lain, informasi lama akan diabaikan dengan adanya informasi yang lebih baru.
            Dan, tak terbantahkan jika perkembangan masyarakat terus bergeliat dinamis, seiring waktu dan kemajuan teknologi. Tentunya hal ini berimplikasi pada kehidupan manusia yakni, positif dan negative. Dilihat dari sisi positif, masuknya informasi lewat media massa baik elektronik maupun cetak membawa kemudahan bagi manusia, memperkaya informasi, menambah wawasan kecerdasan dan lain-lain. Sedangkan dampak negative, membawa manusia ke arah yang buruk dengan menyalahgunakan teknologi ke arah yang salah atau upaya mencari permusuhan dan keuntungan pribadi yang menyesatkan.
 Alvin Toffler[1], seorang futurolog, pernah mengatakan bahwa perkembangan dunia dibagi menjadi tiga zaman, yaitu: agriculture era, industrialitation era, dan era information. Zaman ini disebut juga era globalisasi karena dunia ini tidak lagi dibatasi jarak dan waktu.
Indonesia sebagai Negara yang terus berkembang menuju kepada cita-cita suatu masyarakat yang adil dan makmur. Modernisasi dan industrialisasi sebuah proses yang tidak dapat terelakkan, di mana teknologi dan pengetahuan merupakan tulang punggungnya.
Mayoritas orang takjub akan sebuah modernisasi, mereka menilai modernisasi berjalan searah dengan kesejahteraan. Namun, mereka lupa jika dibalik modernisasi yang serba wah adalah sebuah gejala he agony of modernization[2], yaitu azab sengsara karena modernisasi. dapat disaksikan masyarakat, yaitu demikian meningkatnya angka-angka kriminalitas yang disertai dengan tindak kekerasan, perkosaan, judi, penyalahgunaan obat/narkotika, kenakalan remaja, promiskuitas, prostitusi, bunuh diri, gangguan jiwa, dan lain sebagainya.


Taufik*)

1)  Alvin Toffler, The Third Wave, t.t: Batam Book, 1981



Masalah utama dalam suatu masyarakat modern adalah timbulnya disintegrasi dari masyrakat tradisional karena unsur-unsurnya mengalami perubahan dengan kecepatan yang berbeda. Kebenaran-kebenaran abadi sebagaimana terkandung dalam ajaran agama, disisihkan karena dianggap kuno, sehingga orang hanya berpegang kepada kebutuhan materi dan tujuan dekat belaka. Dalam masyarakat modern rongrongan terhadap agama, moral, budi pekerti, warisan budaya lama dan tradisional telah menimbulkan ketidakpastian fudamental di bidang hukum, moral, nilai, dan etika kehidupan. Oleh karena itu problem utama masyarakat modern
dewasa ini yang merupakan stress kehidupan sebagaimana dikemukan oleh Ivan Illich: ketidakpuasan, ketidakbahagian, kerakusan, niat jahat, kecemasan terhadap nilai-nilai, berbagai penyimpangan/kelainan dan kehilangan kontrol diri, merupakan tantangan bagi negara dan bangsa kita yang hendak dan sedang maju dan membangunan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai tulang punggung modernisasi dan industrialisasi, tanpa sadar telah terjadi penyalahgunaan sehingga mengakibatkan dampak negatif berupa kerusakan lingkungan.
Berjuang demi kepentingan diri sendiri atau dengan kata lain penekanan pada individualitas yang absolut merupakan salah satu karakter utama paradigma modern. Rene Descartes dengan konsepcogito ergo sum nya, demikian pun Francis Bacon atau Isaac Newton telah menggulirkan berbagai konsep dasar bagi sains modern yang ujung-ujungnya menjadi penopang utama kecenderungan individualistik modern. “Materi dan pikiran ada;ah dua entitas yang berbeda, “ kata descartes dalam teori “cogito ergo sum”-nya, lagu pula dilanjutkan Descartes, karena saya berpikir maka saya ada, maka tidak ada satupun di dunia ini yang punya eksistensi yang sejati kecuali pikiran.
Kalau paradigma modernisasi itu sebagaimana diungkapkan oleh Bede Griffiths maupun oleh Fritjof Capra[3], berkarakter materialis dan mekanistis, paradiga perenialisme itu berkarakter holisktik dan siklis. Segala sesuatu dilihat sebagai sesuatu keseluruhan yang bertumpu pada dasar yang sama, yakni sebuah Realitas Ultim, yang dalam tradsi spiritual barat dan Timur dikenal sebagai Godhead (kristen), Tao (Cina), Sunyata atau kehampaan (Budhisme), Brahman (Hindu) dan al-Haqq (Islam). Segala sesuatu di alam semesta ini berada di dalam sebuah rangkaian yang siklis. Dengan kata lain, segala sesuatu, baik manusia maupun alam materi ataupun spiritual, berada di dalam keterkaitan inilah yang dicurigai oleh para perenialis telah diputus oleh modernisme dan keterputusan itu pada gilirannya menyebabkan tiap-tiap elemen kehidupan menjadi terasing satu dari yang lainnya, bahkan seperti yang terjadi pada manusia, terasing dari dirinya sendiri. Di penghujung abad ke-20, lahir sebuah paradigma kehidupan baru, terutama dalam bidang pemikiran yang dikenal sebagai postmodernisme. Sebagai kritik terhadap krisis multidimensi.
Islam sebagai agama dakwah melalui ajarannya telah memberikan solusi alternatif bagi pemecahan masalah. Dakwah pada hakekatnya merupakan upaya untuk mempengaruhi seseorang dalam bertindak dan berperilaku. Dengan dakwah diharapkan mampu mengubah kepribadian secara individu maupun kolektif[4].
Dalam Islam, sasaran dakwah adalah seluruh umat manusia (masyarakat). Keberhasilan dakwah ditentukan oleh faktor-faktor yang berpengaruh, salah satu di antaranya adalah adanya lingkungan mad’u yang dikenal sebagai masyarakat.

     Hakikat Dakwah dan Teknologi
Untuk melihat lebih jelas apa hubungan dakwah dan perkembangan masyarakat, maka perlu didahului dikemukakan pengertian dakwah sebagai berikut: secara harfiah (etimologi) kata dakwah menurut Muhammad Fuad[5] mengandung arti antara lain: ajakan, panggilan, seruan, permohonan (do’a), pembelaan dan lain sebagainya. Pemahaman seperti ini dapat dijumpai di dalam ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut: (Q.S. al-Baqarah/2:221), (Q.S. Yusuf/12: 33), (Q.S. al-Anfal/8: 24) dan (Q.S. al-Baqarah/2:186).
Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa kata dakwah umumnya dipahami sebagai ajakan kepada hal-hal yang baik (positif), sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah: 221. Hal ini berarti bahwa Allah mengajak hamba-Nya untuk melakukan sesuatu yang menyebabkan mereka masuk ke dalam surga, yaitu berpegang teguh pada agama-Nya.
Akan tetapi, al-Qur’an juga menggunakan kata dakwah dalam pengertian yang ditujukan untuk hal-hal yang tidak baik (negative). Sebagaiman dalam Q.S. al-Baqarah : 221 dijelaskan bahwa orang-orang kafir mengajak ke dalam neraka, dan dalam surah Yusuf: 13 menggambarkan bahwa Zulaikha mengajak Nabi Yusuf as. untuk melakukan hal yang terlarang.
Secara terminologi pengertian dakwah dapat dilihat secara konseptual dan secara teknis operasional. Secara konseptual, dakwah diarahkan pada usaha merubah sikap beragama dari masyarakat penerima dakwah dan dalam pelaksanaannya dakwah dilakukan dengan jiwa tulus serta ikhlas.
Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan idealism dakwah yang bertujuan agar manusia mengikuti jalan lurus yang telah digariskan oleh Allah SWT, sehingga mereka selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Hal ini juga berarti ajakan untuk merubah keadaan manusia kepada yang lebih baik, secara fisik maupun mental (min al-dlulumat ila al-nur), sesuai dengan yang dirumuskan al-Qur’an. Di antara ayat-ayat tersebut, Allah berfirman dalam Q.S. Yusuf : 108.
“Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.
Menurut Sayyid Quthub[6], pengertian dakwah menurut ayat-ayat ini adalah mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan aqidah dan syariat Islam yang telah ditetapkan Allah SWT, menjadi jalan (pedoman) hidup manusia yang telah terlebih dahulu telah diyakini dan diikuti oleh juru dakwah sendiri. Dengan kata lain, seorang juru dakwah harus benar-benar memahami, mengetahui dan sekaligus menjalankan tuntutan Allah dengan penuh pengertian dan kesadaran serta dengan suatu keyakinan yang teguh memurnikan ke-Esaan Allah.
Secara teknis operasional, rumusan dakwah diarahkan kepada subjek atau juru dakwah. Pemahaman ini dapat diperoleh dari ayat-ayat yang menjelaskan tentang bagaimana sikap, tindakan atau perilaku yang harus dimiliki oleh seorang juru dakwah dalam menjalankan misi dakwahnya. Dengan kata lain, pengertian dakwah yang dirumuskan al-Qur’an lebih ditekankan pada aspek teknis penyampaian dakwah itu sendiri, yakni berupa sikap, tindakan maupun perilaku dalam berdakwah.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung pengertian teknis operasional dakwah, antara lain:
“Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan” (Q.S. al-Fath/48:8).
Menurut Al-Maraghi[7], ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah mengutus Rasul sebagai pemberi kabar gembira (surga) bagi orang-orang yang memenuhi ajakannya dan sebagai pemberi peringatan tentang adanya adzab Allah bagi mereka yang berpaling dari ajaran-Nya. Ayat ini juga menjelaskan bahwa Rasul sendiri berperan sebagai saksi atas umatnya tentang sambutan mereka atas dakwah Nabi.
Menurut al-Bahy al-Khauly[8], dakwah adalah usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat. Pengertian ini menunjukkan bahwa esensi dakwah bukan hanya terletak pada usaha mengajak kepada keimanan dan ibadah saja, lebih dari itu dakwah adalah usaha penyadaran manusia atas keberadaan dan keadaan hidup mereka. Barangkali yang dimaksud dengan pengertian dakwah ini sesuai dengan pendapat Munir Mulkhan[9] , bahwa dakwah bermakna usaha pemecahan suatu masalah dan pemenuhan kebutuhan manusia.
Al Mahfuzh dalam bukunya “Hidayat al-Mursyidin”, memberikan definisi dakwah sebagai berikut:
“Mendorong (memotivasi) ummat manusia melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah mereka berbuat makruf dan mencegahnya dari perbuatan mungkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat”[10].
Beberapa pengertian dakwah tersebut, meskipun dituangkan dalam bahasa dan kalimat yang berbeda, tetapi kandungan isinya tetap sama bahwa dakwah dipahami sebagai seruan, ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat Islami berdasarkan kebenaran ajaran Islam yang hakiki.
Oleh karena itu, dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, pertama dakwah merupakan suatu proses usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja, sehingga diperlukan organisasi, manajemen, sistem, metode dan media yang tepat. Kedua, usaha yang diselenggarakan itu berupa ajakan kepada manusia untuk beriman dan mematuhi ketentuan-ketentuan Allah, amar ma’ruf dalam arti perbaikan dan pembangunan masyarakat, dan nahi munkar. Ketiga, proses usaha yang diselenggarakan tersebut berdasarkan suatu tujuan tertentu, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang diridhai Allah.

     Dakwah dalam Menghadapi Teknologi
Yang menarik dari perkembangan kosmologi baru ini, Fritjof Capra yakin bahwa titik balik peradaban masa depan akan berangkat dari kerja sains (kosmologi) dengan aspek religiositas. Kelahiran buku The Turning Point[11] tersebut,.
Pada saat yang sama, Capra juga yakin bahwa perubahan-peruabhan konseptual dalam fisika modern juga memiliki implikasi sosial yang penting.  Capra menandaskan kalau dahulu diyakini pencapaian sains yang bersifat absolut, kin seluruh konsep, teori dan temuan ilmiah bersifat terbatas dan kira-kira saja (dzanny). Sains tidak dapat menyediakan pemahaman definitif yang lengkap tentang seluruh kenyataan. Sains tidak lagi selalu merupakan kebenaran (dengan bungkus kebenaran ilmiah). Sains hanyalah deskripsi tentang kenyataan yang selalu terbatas.
Sekarang kita sudah sampai pada puncak perubahan yang dramatis dan penuh resiko. Sebuah titik balik bagi keseluruhan planet. Kita memerlukan visi baru tentang realitas. Karena yang diperlukan sekarang adalah sebuah paradigma baru visi baru tentang realitas. Visi baru ini mencakup pandangan sisten-sistem yang sedang bangkit tentang kehidupan, jiwa, kesadaran, evolusi; pendekatan holistik yang saling terkait dalam kesehatan dan pengobatan; pemaduan pola pendekatan Timur dan Barat terhadap psikologi dan psikoterapi; sebuah kerangka kerja konseptual baru dalam ekonomi dan teknologi; sebuah perspektif yang ekologis dan feminis, serta bersidat spiritual dalam hakikat ultimanya, dan akan membimbing kepada perubahan mendasar bagi struktur budaya dan politik manusia. Wacana-wacana itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan the cosmic connection[12].
Kesadaran akan adanya the cosmic connection itulah yang memunculkan religiositasbaru, yakni kekaguman dan kebahagiaan melihat kebesaran Tuhan di alam semesta yang semakin menakjubkan. Berkat kosmologi baru Allah “hidup” kembali dan agama kembali berperan.
Dakwah adalah misi. Misi untuk merubah. Menurut Syukriadi Sambas[13]  tujuan dakwah islam dengan mengacu kepada kitab al-Qur’an sebagai kitab dakwah, antara lain dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Merupakan upaya mengeluarkan manusia dari kegelapan hidup (zhulumat) kepada cahaya kehidupan yang terang (nur). (Q.S: 2:257)
2.      Upaya menegakkan sibghah Allah (celupan hidup dari Allah) dalam kehidupan makhluk Allah (Q.S:2:138)
3.      Upaya menegakkan fitrah insaniyah (Q.S: Al-Rum:30)
4.      Memproporsikan tugas ibadah manusia sebagai hamba Allah (Q.S: 2:21)
5.      Mengestafetkan tugas kenabian dan kerasulan (Q.S: 59:7)
6.      Upaya menegakkan aktualisasi pemeliharaan agama, jiwa, akal, generasi, dan sarana hidup
7.      Perjuangan memenangkan ilham taqwa atas ilham fujur dalam kehidupan individu, keluarga, kelompok dan komunitas manusia.

Dakwah dalam Islam adalah sebuah upaya untuk mengajak manusia kepada jalan yang benar yang diridhai oleh Allah SWT. Dakwah masa kini tidak cukup dimaknai sebagai aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar saja, tetapi lebih jauh dakwah dapat dimaknai sebagai upaya untuk menciptakan memaslahatan hidup manusia sesuai bidang yang digelutinya masing-masing.
Dakwah dan perkembangan masyarakat tidak dapat dipisahkan, karena sasaran dakwah dalam Islam adalah manusia tanpa kecuali. Manusia, secara sosiologis cultural selalu mengalami perubahan-perubahan, disinilah dakwah berperan sebagai agen perubahan masyarakat yang selalu menuntun manusia kea rah yang lebih baik.
Islam adalah ajaran agama yang dinamis, tidak statis karena itu ajarannya sangat fleksibel dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman dan dinamika kehidupan masyarakat, namun tidak terbawa arus kemajuan zaman.
                 Pembahasan tentang dakwah dan teknologi sangat urgen karena perkembangan masyarakat selalu mengalami kemajuan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini, namun kemajuan iptek tidak hanya membawa dampak positif bagi perkembangan manusia akan tetapi justru seringkali membawa dampak negatif yang berakibat pada kerusakan moral manusia. Oleh karena itu, dakwah sebagai upaya mengajak manusia kepada jalan yang benar harus senantiasa dilaksanakan oleh para pelaku dakwah. Tanpa adanya dakwah tentu saja kehidupan manusia tidak akan terarah apalagi untuk mencapai kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat nanti. Itulah sebabnya dakwah dalam Islam adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim, karena hanya dengan dakwah kebenaran itu bisa tersebar ke seluruh lapisan masyarakat.

          Referensi
Al-Qur’an Al-Karim
       Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah Yogyakarta: SI Press,1996.
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Kairo: Musthafa al-Halaby, 1394  
H/1974 M, jilid IX, Juz 27.
Ahmad Watik Pratiknya, Konsep dan Metode Dakwah di Kalangan Generasi
Muda, makalah ini disampaikan pada Silaturrahmi dan Dialog Dakwah Generasi Muda, Bandung 24-26 Maret 1989.
Al-Bahy al-Khauly, Tadzkirat al-Du’at, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 1408
H/1987 M), Cet. Ke-8.
Amrullah Achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Prima
Data, 1983.
Alvin Toffler, The Third Wave, t.t: Batam Book, 1981
Bahri Ghazali, Da’wah Komunikatif, Cet. I, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997.
Fritjop Capra, Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Jejak.
J. Dwi Narwoko-Bagong Suyanto, Sosiologi Teks, Pengantar dan Terapan, Cet. I,
Jakarta: Prenada Media, 2004.
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. III, Bandung: Mizan, 1993.
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Cet. I, Bandung: Mizan, 1996.
Muhammad Fuad, Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Qur’an,  Damaskus: Dar al-
Rasyid, 1405 H/1984 M.
Piot Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Cet. I. Jakarta: Prenada, 2004.
Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Kairo: Dar al-Syuruq, Cet. XIV, 1408
H/1987 M Jilid IV, Juz XIII
Syekh Ali Mahfudz, Hidayat al-Mursyidin, Mesir: Dar al-Mishr, 1975.
Syukriadi Sambas. Filsafat Dakwah. Bandung: KP Hadid, 1998.


[1] 1981
[2] Demikian antara lain pada pidato Dies Natalis Universitas Indonesia, 1982 yang berjudul “mengenali Medan Pengabdian”. Gejala the agony of modernization yang merupakan ketegangan psikososial itu
[3] Dalam buku titik balik peradaban
[4] Bahri Ghazali, 1997: 45
[5] 1984: 40
[6] 1987: 2023
[7] 1974: 91
[8] 1987: 35
[9] 1996: 205
[10] Syekh Ali Mahfudz, 1975: 7
[11] Sebenarnya merupakan pembuktian dari teori-teori yang pernah dinyatakan Capra pada buku pertamanya yang menjadi best seller internasional, “The Tao of Phyisics. Didalam buku ini, Capra mampu mengaitkan antara revolusi spritual yang dialaminya dan karyanya sebagai seorang fisikawan
[12] Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam islam

[13] 1998:75-76

Komentar